Thursday, October 1, 2009

Perang Tikus

Oleh Ikhsan Hasibuan
email: ikhsan.hasibuan@gmail.com

Dalam dunia tikus, Mokhairul Islam adalah seorang "teroris" paling berbahaya dan sedapat mungkin harus dihindari. Betapa tidak dalam kurang dari 1 tahun, Mokhairul berhasil menteror dan membunuh lebih dari 80.000 tikus. Tidak hanya memteror dan membunuh, Mokhairul adalah seorang "maniac" yang bangga mengkoleksi ekor-ekor para korbannya. Sebuah aksi yang membuat gempar dunia pertikusan di Bangladesh.

Namun Mokhairul menolak di cap sebagai teroris dan maniac karena tindakannya tersebut adalah tindakan seorang pahlawan bagi kaumnya. Terbukti Mokhairul mendapat "award" dari pemerintah setempat yaitu berupa sebuah televisi dan penghormatan sebagai pembunuh bangsa tikus terhebat di negara itu.

Pemerintah Bangladesh memang mengeluarkan pernyataan perang terhadap bangsa tikus. Dengan para petani sebagai tentara di garis depan yang berhadapan langsung dengan jutaan tikus yang terkenal sebagai makhluk cerdas dalam dunia adaptasi hewan. Walaupun dari segi teknologi, peperangan ini tidak adil dimana petani menggunakan alat berat sekelas perangkap dan listrik, senjata kimia seperti racun tikus dan alat pemusnah massal yaitu menenggelamkan rumah tikus. Dilain pihak tikus sama sekali tidak diperlengkapi dengan senjata apapun kecuali strategi perang turun temurun "eat and run". Namun, kekalahan di pihak manusia tetap besar.

Bangsa tikus dibawah serangan teror petani sanggup mencuri 10% dari hasil pertanian Bangladesh dan membuat 120.000 orang di negara itu menderita kelaparan hingga terpaksa hanya bisa makan akar saja. Namun kepiawaian tikus Bangladesh belum ada apa-apanya dibanding tikus ber-ktp Indonesia. Di negara ini kemampuan mencuri tikus mencapai hampir dua kali lipatnya yaitu 17%. Masyarakat tikus indonesia adalah masyarakat tikus yang paling makmur di seluruh Asia, Afrika, Australia dan Eropa.

Di Indonesia para tikus memang lebih cerdas, buktinya orang-orang di negara ini tidak berani menyatakan perang secara terbuka. Kemampuan birokrasi tikus indonesia juga tidak diragukan. seorang teman petani dari jawa bercerita kalo tikus itu ada rajanya. membunuh tikus bisa membuat raja tikus marah dan menghancurkan sawah si pembunuh tikus dalam semalam saja. Ketakutan terhadap ancaman raja tikus ini membuat petani mengibarkan bendera putih dan merelakan sebagian hasil tanamannya untuk ikut dinikmati bangsa tikus. Anggaplah ini sebagai zakatnya. Begitu kira-kira cerita teman saya yang asli jawa. Soal kebenarannya saya tidak tahu.

Namun, mitos atau falsafah menjalin hubungan baik dengan para tikus tidak hanya diterapkan oleh petani. para pejabatpun melakukan hal serupa. tentu kelasnya bukan dengan tikus sawah tetapi dengan tikus berdasi alias koruptor. beda tikus sawah dengan tikus berdasi tidak banyak, yang satu berdasi yang satu lagi tidak tahu cara menggunakan dasi. namun keduanya sama-sama pencuri yang rakus.

Ketakutan menghadapi para tikus berdasi yang bisa jadi jumlahnya mencapai jutaan, membuat pejabat memikir ulang program pemberantasan tikus berdasi. setidaknya terbukti dengan KPK sebagai tim khusus anti tikus yang sudah dibuat lemah tak berdaya sementara pemerintah mendatangkan keju-keju lezat bermerk import yang siap disantap (bersama-sama) para tikus. Namun sayangnya tagihan bon keju-keju ini ditujukan untuk "semua rakyat Indonesia" yang sebagian besar hanya bisa mendengar berita kedatangan keju-keju ini saja.

sumber data:
- Khalej times
- Resource Magazines

No comments:

Post a Comment