Monday, October 5, 2009

Uang dan kemuliaan

oleh Ikhsan Hasibuan
email: ikhsan.hasibuan@gmail.com

Portsmouth adalah klub sepakbola liga premier Inggris yang paling jelek nasibnya dalam musim tanding kali ini. klub ini selalu kalah dalam 7 dari 8 pertandingan. kemenangan pertama akhirnya baru berhasil diraihnya hari sabtu kemarin. Hal yang kontras terjadi pada klub Manchester City. klub ini selalu menang dalam setiap pertandingannya kecuali saat menghadapi tim terkuat Manchester United. Pada musim-musim sebelumnya kekuatan kedua club ini termasuk dalam kelas average. apa yang menyebabkan perbedaan significant ini?

Perbedaannya adalah uang. Manchester City menjadi klub bergelimang uang setelah klub ini dibeli oleh seorang trilyuner asal Uni Emirat Arab; Sheikh Mansour bin Zayed Al Nahyan. Kemenangan demi kemenangan diperoleh karena kemampuan klub ini menggaji para pemain berkelas international untuk bergabung bersama timnya.

Sementara itu Portsmouth mengalami kesulitan keuangan yang sangat parah. rekening klub itu jatuh hingga angka zero dan para pemainnya terpaksa bermain tanpa menerima gaji. Kemenangan hari sabtu kemarin (3/10) diperoleh Portsmouth karena semangat pemainnya yang langsung menggelora saat mendengar masa depan klub ini yang akan segera kembali cerah. Adalah Sulaiman Al Fahim, trilyuner asal Dubai, sang penyelamat Portsmouth.

Cerita nyata hubungan yang sangat erat antara kemenangan dan uang tidak hanya terjadi di dunia sepakbola tetapi juga hampir terjadi disemua kehidupan manusia.

Umar bin Khattab sukses meluaskan penyebaran islam hingga ke Syiria dan Mesir karena didukung kemakmuran Mekkah dan Medinah. Mu'awiyah mampu menyebarkan islam hingga ke dataran Afrika juga karena faktor kemakmuran Syiria. Demikian juga sang legendaris Salahuddin Al-Ayubi mampu merebut Baghdad kemudian mengalahkan pasukan salib dan merebut Jerussalem tidak bisa dilepaskan dari faktor kemakmuran bangsa Syria dan Mesir.

Memang uang bukanlah segalanya tapi dengan uang kita punya kesempatan untuk berbuat lebih banyak.

Mari kita kembali ke negara kita. Bangsa kita dipandang sebagai satu dari negara-negara termiskin di dunia. saya sendiri punya pengalaman betapa seorang warga barat begitu memandang rendah Indonesia. "Indonesia? it's not good, too poor, too many corruptors" (Indonesia? gak bagus, sangat miskin, terlalu banyak koruptor) begitu kata seseorang yang saya jumpai dalam sebuah perjalanan kereta di sebuah negara di Eropa.

Saya lebih memilih sikap malu daripada marah, karena apa yang dia katakan tidak salah.

Mau tidak mau, menerima atau tidak, harga diri bangsa ini memang hampir tidak bisa dibanggakan. kita tidak hanya miskin uang (utang bangsa ini sudah mencapai angka tidak masuk akal), tetapi juga miskin iman dan moral (doyan korupsi). Inilah faktor mengapa negara-negara asing seperti Amerika dan Australia sering kali menginjak-injak kepala kita tanpa ada perlawanan apa-apa dari kita. atau malah sebaliknya karena sudah kehilangan kepekaan, injakan tersebut dirasakan sebagai belaian mesra.

Kemuliaan bangsa ini tidak akan pernah diperolah selagi kita masih mengidolakan "hutang luar negeri" sebagai sumber keuangan negara. sudah terbukti lebih dari 60 tahun sejak kita menyatakan merdeka. Kita harus punya uang sendiri. negara kita kaya. emas kita punya, perak dan timah juga banyak, juga kekayaan alam lainnya. Namun kita miskin karena kita miskin hati. Kita hina karena kita menyukai gaya hidup rendah moral dan rendah iman. kita doyan ngutang karena kita kikir bin pelit. kita tidak bisa bangkit karena kita tidak pernah bisa belajar dari pengalaman. kita mencintai situasi chaos agar jabatan kita langgeng, agar posisi kita aman.

inilah bangsa yang membangun kemuliaannya diatas uang hutangan. kemuliaan yang hanya bisa kita rasakan sendiri tetapi tidak bisa dilihat oleh orang lain. kemuliaan yang unik.

Sebuah negara bukanlah sebuah klub sepakbola, yang bisa segera mengganti pemainnya yang tidak bisa bermain bagus.

Thursday, October 1, 2009

Perang Tikus

Oleh Ikhsan Hasibuan
email: ikhsan.hasibuan@gmail.com

Dalam dunia tikus, Mokhairul Islam adalah seorang "teroris" paling berbahaya dan sedapat mungkin harus dihindari. Betapa tidak dalam kurang dari 1 tahun, Mokhairul berhasil menteror dan membunuh lebih dari 80.000 tikus. Tidak hanya memteror dan membunuh, Mokhairul adalah seorang "maniac" yang bangga mengkoleksi ekor-ekor para korbannya. Sebuah aksi yang membuat gempar dunia pertikusan di Bangladesh.

Namun Mokhairul menolak di cap sebagai teroris dan maniac karena tindakannya tersebut adalah tindakan seorang pahlawan bagi kaumnya. Terbukti Mokhairul mendapat "award" dari pemerintah setempat yaitu berupa sebuah televisi dan penghormatan sebagai pembunuh bangsa tikus terhebat di negara itu.

Pemerintah Bangladesh memang mengeluarkan pernyataan perang terhadap bangsa tikus. Dengan para petani sebagai tentara di garis depan yang berhadapan langsung dengan jutaan tikus yang terkenal sebagai makhluk cerdas dalam dunia adaptasi hewan. Walaupun dari segi teknologi, peperangan ini tidak adil dimana petani menggunakan alat berat sekelas perangkap dan listrik, senjata kimia seperti racun tikus dan alat pemusnah massal yaitu menenggelamkan rumah tikus. Dilain pihak tikus sama sekali tidak diperlengkapi dengan senjata apapun kecuali strategi perang turun temurun "eat and run". Namun, kekalahan di pihak manusia tetap besar.

Bangsa tikus dibawah serangan teror petani sanggup mencuri 10% dari hasil pertanian Bangladesh dan membuat 120.000 orang di negara itu menderita kelaparan hingga terpaksa hanya bisa makan akar saja. Namun kepiawaian tikus Bangladesh belum ada apa-apanya dibanding tikus ber-ktp Indonesia. Di negara ini kemampuan mencuri tikus mencapai hampir dua kali lipatnya yaitu 17%. Masyarakat tikus indonesia adalah masyarakat tikus yang paling makmur di seluruh Asia, Afrika, Australia dan Eropa.

Di Indonesia para tikus memang lebih cerdas, buktinya orang-orang di negara ini tidak berani menyatakan perang secara terbuka. Kemampuan birokrasi tikus indonesia juga tidak diragukan. seorang teman petani dari jawa bercerita kalo tikus itu ada rajanya. membunuh tikus bisa membuat raja tikus marah dan menghancurkan sawah si pembunuh tikus dalam semalam saja. Ketakutan terhadap ancaman raja tikus ini membuat petani mengibarkan bendera putih dan merelakan sebagian hasil tanamannya untuk ikut dinikmati bangsa tikus. Anggaplah ini sebagai zakatnya. Begitu kira-kira cerita teman saya yang asli jawa. Soal kebenarannya saya tidak tahu.

Namun, mitos atau falsafah menjalin hubungan baik dengan para tikus tidak hanya diterapkan oleh petani. para pejabatpun melakukan hal serupa. tentu kelasnya bukan dengan tikus sawah tetapi dengan tikus berdasi alias koruptor. beda tikus sawah dengan tikus berdasi tidak banyak, yang satu berdasi yang satu lagi tidak tahu cara menggunakan dasi. namun keduanya sama-sama pencuri yang rakus.

Ketakutan menghadapi para tikus berdasi yang bisa jadi jumlahnya mencapai jutaan, membuat pejabat memikir ulang program pemberantasan tikus berdasi. setidaknya terbukti dengan KPK sebagai tim khusus anti tikus yang sudah dibuat lemah tak berdaya sementara pemerintah mendatangkan keju-keju lezat bermerk import yang siap disantap (bersama-sama) para tikus. Namun sayangnya tagihan bon keju-keju ini ditujukan untuk "semua rakyat Indonesia" yang sebagian besar hanya bisa mendengar berita kedatangan keju-keju ini saja.

sumber data:
- Khalej times
- Resource Magazines